Peluru Kata: Kafir!

 Peluru Kata: Kafir!

Oleh Asri Supatmiati |Founder Revowriter

“Kata adalah sumber sihir yang tidak ada habisnya. Mampu memberikan luka, maupun mengobatinya” (JK Rowling dalam Harry Potter). Hm, “kata” sungguh bukan hal biasa. Dalam perang propaganda pun, ada dua peluru utama untuk bertempur: simbol dan kata.

Tentang bahasa simbol, rasanya sudah pernah saya tulis. Kali ini tentang kata. Sebuah kata, dibentuk bukan sembarang ceplok. Ada makna mendalam di baliknya. Ada definisi sesuai realitanya. Karena itu, kata bisa bertambah, seiring dengan bertambahnya realitas. Tetapi, kata yang sudah ada, mustahil berkurang atau berubah definisinya (Kecuali, ada upaya pembelokan maknanya).
.
Misal, ketika Bahasa Inggris memasukkan kata “selfie” sebagai kosa kata baru, dikarenakan ada definisi berupa “kegiatan memotret diri sendiri.” Sebuah realita yang baru muncul di era smartphone kamera.
.
Demikian pula istilah phubing yang merupakan singkatan dari phone snubbing, yakni realitas orang-orang yang pegang handphone dan tidak peduli dengan sekitarnya. Sebuah kata baru, merujuk pada fenomena baru. Ada pula kata body shamming, yaitu ujaran terkait fisik yang dilontarkan terhadap seseorang. Utamanya oleh para netizen yang jarinya kejam laksana belati. Menorehkan kata yang melukai.
.
Nah, baru-baru ini heboh diksi “kafir.” Kata ini, merujuk pada definisi dan realitas yang sudah final, yakni sebutan untuk orang-orang yang mengingkari Allah Swt. Kata ini sudah ada sejak zaman Nabi, tidak bisa dihapus atau dihilangkan.
.
Kafir diserap dari Bahasa Arab. Sebutan kafir ini, bukan buatan orang Arab. Bukan pula buatan Muhammad. Tetapi panggilan Allah Swt. Seperti dalam ayat awal Surat Al-Kafirun: “Yaa ayyuhal kaafiruun…Wahai orang kafir.” Sekali lagi, ini adalah panggilan langsung dari Allah Swt, bukan buatan ahli bahasa sekalipun.
.
Definisi tersebut sudah final. Tidak dapat diganggu gugat. Masalahnya adalah bagaimana penyerapan diksi kafir ke dalam Bahasa Indonesia? Seberapa urgent-nya harus diganti dengan nonmuslim?
.
Terus terang, saya pribadi sering menggunakan kata nonmuslim untuk menggantikan kata kafir dalam berbagai tulisan. Tidak masalah. Dalam konteks tertentu, ada maksud untuk memperlawankan “nonmuslim” dengan kata “muslim.”
Apakah lantas tidak baik menggunakan kata “kafir”? Tidak juga. Sesuai konteks saja.
.
Sebab, tidak semua kata dalam bahasa asing, tepat penyerapannya dalam Bahasa Indonesia. Kesalahan dalam penyerapannya ini, bahkan menimbulkan kesalahan fatal. Sebab tidak sesuai dengan definisi dan realitas yang seharusnya.
.
Contohnya: Bahasa Arab “jilbab” di Indonesia diserap menjadi kerudung. Padahal, jilbab definisinya adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh wanita (lebih cocok padanannya adalah gamis). Sedangkan kerudung, bahasa Arabnya adalah “khimar.” Akibat kesalah-pahaman dalam memahami makna “jilbab” ini, para muslimah kebanyakan “hanya” berkerudung, belum “berjilbab.” Baru menutup rambut hingga dada, tetapi belum berjilbab atau gamis. Seperti bercelana panjang, memaki rok potongan dan sejenisnya.
.
Demikian kesalahan dalam mendefinisikan makna “jilbab.” Definisi ini, orang Arab yang berbahasa Arab yang paling memahami. Sebagaimana kata “sarung”, dimana definisi yang paling paham tentang sarung adalah orang Indonesia. Yakni, kain yang bolong ujung atas dan bawahnya, untuk dipakai dililit ke tubuh. Tidak bisa “sarung” dipertukarkan definisinya dengan “kebaya” misalnya.
.
Jelaslah, sebuah kata tidak selalu tepat jika diserap dalam Bahasa Indonesia. Seperti halnya serapan Bahasa Inggris, jika semua diganti Bahasa Indonesia, akan menimbulkan kekacauan, kelucuan, bahkan kekonyolan. Misal, kalau kita mengucapkan thank you, jawabnya you are welcome. Kalau diartikan Bahasa Indonesia, jadinya “kamu selamat datang.” Kan aneh. Atau kata “ghost writer” diserap ke Bahasa Indonesia jadi “penulis hantu.” Kan jadi menakutkan.?
.
Jadi, definisi kata “kafir” itu sudah final, semestinya tidak perlu diributkan untuk menggantinya dengan “nonmuslim.” Toh, dalam penggunaannya bisa fleksibel. Lagian, tidak dipakai untuk panggilan sehari-hari. Kalau kita punya teman kafir, tetap namanya yang kita panggil.
.
Namun demikian, kehebohan soal “kafir” ini ada hikmahnya. Paling tidak, jadi banyak kajian kembali soal istilah ini. Satu kata “kafir” ditembakkan, jutaan kosa kata pembelaan pun dihamburkan. Termasuk, mendorong saya untuk menulis unek-unek ini. Apa itu?
.
Sebagai orang yang bergumul dengan kosa kata, saya semakin yakin. Betapa hebatnya kekuatan sebuah kata. Bahkan hanya sebuah kata, berhasil mengubah opini dunia. Satu kata. Luar biasa. Bagaimana jika kita mampu menembakkan jutaan kata? Masya Allah.
.
Itulah yang disadari betul oleh musuh-musuh Islam. Siapa? Para pengemban ideologi sekular kapitalis. Kata adalah salah satu senjata mereka untuk berperang. Perang apa? Perang pemikiran. Memerangi pemikiran Islam yang dianggap menentang pemikiran sekular. Dirumuskanlah banyak kosa kata, kalimat, kutipan paragraf hingga tulisan untuk mendiskreditkan Islam.
.
Beberapa kata yang sukses ditembakkan untuk mereduksi kebenaran pemahaman Islam antara lain: jihad, ekstrimis, radikal, Islam moderat, toleransi, pluralisme, sinkretisme, liberalisme, hak reproduksi (baca: seks bebas), pekerja seks (baca: pelacur), bunga (baca: riba), dll.
.
Ambil contoh kata “radikal” yang merujuk pada pemahaman yang ‘keras’ atau saklek. Keras dalam ber-Islam. Ketat dalam memegang teguh halal dan haram. Sampai-sampai menyuarakan “haram pemimpin kafir” adalah radikal. Intoleran.
.
Padahal ajaran Islam memang begitu. Yang benar dan yang salah ya hitam putih. Peluru kata “radikal” ditembakkan untuk melumpuhkan militansi umat Islam dalam membela agamanya. Ia menggiring umat agar moderat.
.
Nah, tampaknya, kata “nonmuslim” juga ditembakkan untuk melumpuhkan eksistensi kata “kafir” yang sudah berabad-abad lamanya ada. Sebagai senjata untuk menggiring pemahaman tentang toleransi. Berujung pada penerimaan terhadap ide Sinkretisme, yaitu semua agama sama. Ini bahaya. Karena istilah “kafir” berkaitan dengan masalah akidah. Bukan sekadar istilah, tapi merujuk pada keyakinan.
.
Oleh karena itu, wajar berbagai elemen umat “menggoreng” isu ini agar menjadi perhatian. Jangan sampai pembelaan terhadap kaum kafir (dengan ngotot menggantinya memakai istilah nonmuslim), justru menjerumuskan muslim sendiri menjadi kafir. Sebab, itulah harapan musuh-musuh Islam. Sedikit demi sedikit, sadar tidak sadar, sengaja atau tidak, tersihir permainan kata yang menguntungkan mereka.
.
Begitulah. Musuh-musuh Islam sudah lama mempermainkan kata-kata sebagai senjata. Ironisnya, peluru kata itu, terkadang tidak ditembakkan musuh-musuh Islam, tetapi saudara sesama Muslim sendiri. Mereka yang sudah terkotori pemahaman liberal.
.
Padahal Muslim seharusnya bersatu untuk menembakkan peluru-peluru kata yang sama. Yang sudah diwahyukan dari Allah saja. Yang sudah pasti kebenarannya. Tak akan memberikan luka, tetapi mengobati. Obat atas segala problematika umat yang sedang sekarat.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *